Senin, 09 Desember 2013

Meraba Denyut Informasi Pelayanan Kesehatan



Sebut saja namanya Toha.  Ia datang ke Unit Gawat Darurat (UGD) saat saya bertugas, pada suatu siang di pertengahan bulan Agustus. Saya masih mengingat hari itu, ketika Toha memasuki ruang pemeriksaan dengan berjalan kaki lalu naik ke atas tempat tidur, mengeluhkan badannya yang lemas karena usai muntah-muntah.

Saya memulai pemeriksaan dengan menanyakan segala hal yang terkait dengan keluhan utama. Lelaki baya itu masih mampu bercerita tentang apa yang ia rasakan. Tapi semakin lama nafasnya semakin tersengal-sengal. Bicaranya lalu patah-patah. Sejurus kemudian, mata Toha melotot, dan mulutnya mengerang. Sontak raut wajahnya membiru dan saya panik luar biasa. Toha kejang.

Saya dan teman-teman di UGD tergopoh-gopoh. Kami lalu mengelilingi Toha dan kemudian menanganinya secara keroyokan. Ada yang segera mengamankan jalan nafasnya, sedang yang lain memasang kabel-kabel  sebuah monitor kecil, menghubungkannya dengan elektroda yang sebelumnya ditempel pada dada Toha. Yang lain tampak berusaha dengan sigap memasang infus.

Tak lama kemudian, Toha berhenti bernafas. Kami melirik layar monitor yang lampunya berkedip-kedip. Tampak gambar garis bergerigi berwarna hijau pada layar yang mewakili gambaran irama jantung Toha. Saat itu, Toha mengalami Ventricel Fibrilation—suatu kondisi saat jantung hanya bergetar, tidak berdenyut karena mengalami kekacauan “listrik”.  Saya berusaha meraba denyut nadi di sekitar leher Toha, tapi tidak menemukan apa-apa.

Di belakang kami, keluarga Toha meraung-raung. Jelas, mereka histeris. Toha yang datang dalam kondisi berjalan kaki dan “hanya” mengeluh muntah-muntah, tiba-tiba mengalami kejang yang dilanjutkan dengan nafas yang berhenti dan jantung yang menggelepar.

Kami berusaha sebisa mungkin agar Toha kembali bernafas. Mulai dengan memasukkan pipa plastik hampir sepanjang 25 centimeter ke dalam tenggorokannya, melakukan tindakan “kejut listrik” dengan menghentakkan alat yang mirip dua buah setrika kecil di dada Toha, melakukan kompresi jantung dengan menekan dadanya dalam beberapa kali siklus, serta memberikan obat-obat kegawatan melalui selang infus di tangan kirinya. Kami beruntung, setelah melakukan tindakan sekitar 20 menit terhitung sejak nafasnya mandek, Toha hidup, namun masih belum sadarkan diri.

Kami sedikit lega, namun masih tegang. Toha harus segera dipindah ke ruang rawat intensif  jantung (ICCU). Namun sebelumnya, kami harus mengawasi kondisi Toha dulu dalam beberapa saat. Dalam kondisi semacam itu, dikhawatirkan kondisinya kembali memburuk. Dan kemudian saya dikejutkan oleh sebuah suara dengan nada sedikit membentak di belakang saya.

“Kenapa Bapak saya tidak segera ditangani?” kata pemilik suara tadi.

Rupanya, dia adalah putra Toha. Dia bersikap seperti itu karena melihat kami yang seperti tidak melakukan apa-apa, kecuali mengawasi Toha yang masih tergolek lemah dengan nadi yang baru muncul dan nafas yang masih dibantu lewat alat. Singkatnya, anak Toha merasa bapaknya hanya didiamkan dan tidak segera ditangani.

Saya bisa saja marah pada putra Toha yang membentak kami. Apalagi mengingat betapa menegangkannya upaya penyelamatan Toha sekitar 20 menit yang lalu. Saat itu, mungkin karena panik, pihak keluarga Toha tidak melihat apa yang kami lakukan. Sehingga pada saat kondisi berubah menjadi sedikit lebih tenang karena ketegangan mulai surut dan kami “hanya” mengawasi layar monitor, mereka merasa bapaknya tidak mendapat perlakuan yang semestinya. Tapi saya urungkan niat saya untuk marah pada salah satu keluarga Toha itu. Sebisa mungkin saya membisiki diri saya sendiri, bahwa dia hanya tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Informasi yang dia miliki terbatas.

***

Semakin lama, permasalahan pelayanan kesehatan memang kian kompleks. Tuntutan semakin beragam, masalah semakin berbiak. Salah satu sebabnya, karena arus informasi yang semakin menderas. Di jaman ini, informasi tentang kesehatan dengan mudah bisa diakses di mana saja. Tapi justru dari sini paradoks terjadi. Kanal informasi yang alirannya begitu deras bisa berbalik menenggelamkan masyarakat pada pemahaman praktis yang kerap dimengerti secara parsial. Ini menjadi pemicu masalah baru. Kesenjangan informasi yang mencoba ditutupi dengan informasi cepat saji justru menimbulkan potensi dampak anyar, yakni masyarakat yang seolah-olah sudah mengerti.

Sedari dulu, masalah informasi yang timpang adalah masalah yang krusial bagi masyarakat selaku penerima layanan kesehatan. Ketimpangan informasi mengakibatkan ketidakadilan sering diterima oleh konsumen (baca: masyarakat). Konsumen kerap tidak paham benar dengan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Mereka tidak paham dengan kebutuhannya sendiri. Rumah sakitlah yang memilih, tapi pasien yang harus membayar pilihan rumah sakit tadi. Herannya, rumah sakit tidak memberikan garansi. Inilah anehnya bisnis layanan kesehatan.

Saya teringat sebuah anekdot tentang resep obat. Saat membutuhkan barang sehari-hari, kita akan membeli. Saat kita sakit, kita akan menebus obat. Pertanyaannya, kenapa untuk obat kita menggunakan kata “menebus” bukan “membeli”? Ini bukan sekadar menyoal pemilihan diksi, tapi karena ada makna yang dalam. Untuk mendapatkan obat, ada sesuatu yang tergadai: kesehatan kita. Artinya, menebus obat lebih serupa paksaan daripada pilihan. Alasannya, karena mereka yang menebus obat kerap tidak paham tentang hubungan obat dengan penyakit yang dideritanya.

Ketimpangan informasi antara pasien dan penyedia layanan kesehatan serupa celah lebar yang mudah disusupi oleh kenakalan oknum penyedia layanan kesehatan itu sendiri. Ketidakmengertian konsumen bisa menjadi peluang terjadinya kecurangan-kecurangan dari pihak tertentu. Informasi yang asimetris ini membuka kesempatan munculnya tindakan moral hazard dari penyedia layanan kesehatan. Keterbatasan pengetahuan membuat kebebasan memilih yang seharusnya dimiliki pasien menjadi hilang.

Kita bisa mengaca pada  kasus dr. Dewa Ayu Sasiari, Sp.OG, dkk. yang sedang panas dalam beberapa waktu belakangan ini. Pihak keluarga pasien merasa tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang apa yang dilakukan pada almarhumah korban. Keluar dari konteks siapa benar dan siapa yang salah dalam kasus ini, yang jelas keluarga pasien tidak puas akan informasi yang diterimanya. Informasi yang terbatas akan membatasi pengetahuan. Pengetahuan yang terbatas akan membuat kebebasan memilih yang dimiliki oleh pasien dan keluarga lenyap. Pasien dan keluarga menjadi pasif menerima tindakan medik yang memang sifatnya tidak mengenal garansi.

Turbulensi Informasi

Tapi marilah kita berterima kasih pada teknologi. Lewat salah satu keajaibannya yang bernama internet, ratusan informasi kesehatan bisa diakses dalam satu hari. Informasi ini tentu diharapkan berdampak baik bagi masyarakat, utamanya dalam mengatasi ketimpangan informasi kesehatan yang sudah terjadi. Dengan adanya informasi kesehatan yang dapat dicari di manapun kita berada, akan membuka pintu-pintu pemahaman tentang kondisi kesehatan yang bisa kita masuki.

 Ternyata persoalannya tidak sesederhana itu. Informasi kesehatan yang tersedia begitu banyak. Arusnya begitu deras. Alan Greenspan, seorang tokoh ekonomi global,  menyebut fenomena ini sebagai turbulensi informasi. Pusaran informasi membuat kita tenggelam bila kita tidak jeli memilih. Masyarakat sebagai konsumen pelayanan kesehatan yang semula kebebasan memilihnya terbatas karena minimnya informasi, mungkin bisa sedikit terbantu dengan adanya arus informasi ini. Tapi gambaran lainnya, masyarakat seakan masuk ke hutan belantara informasi. Alih-alih paham dan menemukan jalan yang benar, masyarakat berpeluang untuk takut melangkah atau justru melangkah jauh namun tersesat.

Ada banyak informasi soal layanan kesehatan alternatif  yang tidak jelas dasar bukti ilmiahnya. Kebanyakan hanya berangkat dari asumsi pemberi layanan. Ironisnya, golongan  ini memiliki frekuensi yang lebih banyak dalam penyampaian informasi kepada masyarakat dibandingkan dengan informasi layanan kesehatan yang lebih teruji. Masyarakat lebih sering terpapar informasi kesehatan yang kurang benar, menyesatkan, semata-mata demi kepentingan komersial pemberi layanan kesehatan tadi.

Peran media juga sangat penting dalam hal ini. Penyedia layanan kesehatan yang hendak menyampaikan informasi yang benar harus bisa bekerjasama dengan media. Ini juga bisa menjadi upaya memupus anggapan buruk bahwa media adalah oposisi sistem kesehatan di Indonesia. Anggapan buruk ini muncul karena media dianggap terlalu  setia pada kredo “bad news is good news” sehingga dirasa kerap menyoroti kasus-kasus yang terjadi pada dunia kedokteran, utamanya dalam perkara malapraktik, tidak dengan asas covering both side sesuai dengan prinsip jurnalisme.

Lalu Bagaimana?

Kesehatan adalah perkara holistik. Bukan hanya menyangkut informasi tentang kondisi fisik yang mengalami masalah dan aspek pengobatannya. Kesehatan juga menyoal bagaimana masyarakat bisa mendapatkan informasi yang benar tentang status kesehatannya agar terus meningkatkan derajat kesehatan melalui upaya pencegahan dan upaya rehabilitatif.

Silang sengkarut problema  pelayanan kesehatan yang salah satu pokok persoalannya adalah mengenai informasi yang kacau, tentu bukannya tanpa jalan keluar. Sebagai bagian dari profesi yang turut pula menjadi bagian intergral sistem pelayanan kesehatan, saya secara pribadi berpendapat bahwa persoalan ini sebaiknya diatasi dengan berfokus pada perbaikan internal di kalangan penyedia layanan kesehatan itu sendiri.

Pertama, dengan memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan itu sendiri. Ini bukan menyoal kecanggihan alat atau kelengkapan fasilitas yang identik dengan tarif yang mahal. Ada tiga hal mendasar yang membuat kualitas pelayanan kesehatan dibilang baik: bukti ilmiah yang sahih, standard operating procedure yang jelas dan patient safety procedure. Pada setiap jenjang pelayanan kesehatan, keselamatan pasien adalah prioritas pokok. Ini semacam yang diucap oleh Hippocrates ribuan tahun lalu. “Salus aegroti suprema lex est”, menyelamatkan penderita adalah kewajiban utama. Menyampaikan informasi yang benar tapi tidak diimbangi dengan pelaksanaan yang sesuai di lapangan tentu adalah perkara yang sia-sia.

Kedua, penyedia layanan kesehatan harus karib dengan teknologi infromasi. Informasi memang harus dibalas informasi. Jika memang arus informasi di era ini dirasa terlalu riuh akan informasi yang kurang tepat, maka penyedia layanan kesehatan harus menyikapinya dengan memberikan informasi yang benar. Pilihan yang bisa diambil salah satunya adalah dengan mengakrabi sosial media yang memang lebih dekat dengan masyarakat. Atau juga dengan memanfaatkan kanal-kanal media lainnya yang tersedia. Penyedia layanan kesehatan yang memang harus menyampaikan informasi yang benar kepada masyarakat bisa menulis di blog, memaksimalkan web, mengirim tulisan ke media cetak dan online, menulis buku kesehatan untuk konsumsi masyarakat, atau justru mengagas media cetak sendiri yang memuat informasi kesehatan untuk masyarakat. Kontennya tentu berupa informasi yang mengarah pada Evidence Based Medicine. Informasi yang sekadar ditulis dengan mengarah pada Opinion Based Medicine tentu harus dijauhi. Informasi kesehatan yang sekadar berbasis pendapat tanpa bukti harus digantikan dengan infromasi kesehatan yang berangkat dari bukti medis yang sahih, transparan dan terukur.

Ketiga, memaksimalkan potensi satelit-satelit layanan kesehatan di masyarakat sebagai  pemberi layanan informasi kesehatan. Dalam hal ini, penyedia layanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat (praktik pribadi dokter, poliklinik, puskesmas) harus lebih gencar memberikan informasi kesehatan pada masyarakat. Langkahnya bisa diawali dengan upaya peningkatan promosi kesehatan masyarakat dan upaya preventif. Untuk upaya kuratif lanjutan, biar menjadi fokus dari rumah sakit.  Satelit-satelit ini memiliki akses yang lebih dekat dengan masyarakat, sehingga kebutuhan masyarakat akan informasi yang benar tentang kesehatan lebih bisa dijangkau. Selain sebagai lini depan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, mereka juga bisa menjadi pendamping pasien saat hendak menerima prosedur kuratif lanjutan yang dilakukan rumah sakit.

Informasi yang Benar atau Konsultasi

Semua boleh mengeluh tentang kekacauan sistem kesehatan di negeri ini. Banyak hal-hal yang jauh dari kondisi ideal. Untuk masalah penyebaran tempat tidur di rumah sakit, misalnya. Ketua Umum Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), dr. Sutoto menjelaskan pada medio 2012 bahwa baru tersedia sekitar 1900 rumah sakit dengan sekitar 120.000 tempat tidur. Kondisi ideal menurut WHO adalah satu tempat tidur per 1000 penduduk. Sehingga kita membutuhkan sekitar 240.ooo tempat tidur. Ini belum ditambah data tentang penyebaran tenaga kesehatan yang tidak merata, kualitas SDM penyedia layanan kesehatan, sistem rujukan yang buruk, anggaran kesehatan nasional yang minim,  sengkarut informasi yang tidak bisa dikontrol, juga sekian masalah pelik lainnya.

Tapi mengeluh saja tidak cukup. Harus ada tindakan nyata sekecil apapun. Salah satunya adalah melalui penyampaian informasi kesehatan yang benar. Ini merupakan tanggung jawab moral semua lini pelayanan kesehatan. Jika tidak mampu memberikan informasi yang benar, setiap tenaga kesehatan sebaiknya diam atau segera melakukan konsultasi pada tenaga kesehatan lain yang mempunyai kapasitas lebih jauh.

Saya sepakat dengan  ucapan seorang epidemiolog bernama Sir Michael Marmot (WHO) bahwa kesehatan adalah kendaraan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Tapi saya lebih sepakat lagi bahwa bahan bakar untuk kendaraan tersebut adalah informasi yang benar.

***

Saya menyusuri lorong rumah sakit usai berjaga di UGD. Melewati ruang ICCU, saya menatap sekerumunan orang. Saya melewati mereka yang bergerombol memenuhi hampir separuh lorong. Saya mempercepat langkah, hingga kemudian langkah saya dihentikan oleh sebuah panggilan dari arah kanan saya.

“Mas!”

Saya menoleh, mencari asalnya suara.

“Bapak sudah mulai sadarkan diri,” kata pemilik suara tadi.

Saya mengenali wajah itu. Dia adalah anak Toha, pasien yang tadi datang ke UGD dengan jantung yang menggelepar. Setelah sebelumnya membentak saya, orang itu berusaha menerima penjelasan  dari kami tentang kondisi bapaknya yang dalam kondisi kritis usai diresusitasi. Observasi di UGD bukan menunda penanganan, tapi kewaspadaan agar kondisi sebelumnya tidak berulang selama perjalanan dari UGD menuju ICCU.

“Oh ya? Syukurlah. Bagaimana kondisinya?” saya menanggapi sambil menjabat tangannya, memberikan selamat.

“Tadi sudah mulai bicara. Suaranya patah-patah. Dia mengeluhkan dadanya terasa linu. Seperti remuk,” kata orang itu.

Saya tersenyum. Dada Toha terasa linu karena usai dilakukan kompresi di dadanya saat jantungnya berhenti.

Orang itu membalas dengan senyum yang lebih lebar. Matanya sedikit berbinar. Saya lalu pamit dan berlalu.  




*Tulisan ini diikutkan pada Lomba Blog “Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan di Indonesia” yang digagas oleh FPKR. Subtema yang dipilih adalah “Praktik Pelayanan Kesehatan di Indonesia”.


7 komentar:

  1. Congratulation dah menang.. ngilmu bacanya :)

    BalasHapus
  2. perjuangan berat seorang dokter dalam menyelamatkan nyawa pasien.. masya allah.. luar biasa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya bukan dokter, saya paramedis gawat darurat. Dan di dalam UGD, say goodbye to solo player. Tidak ada superman, yang ada hanya supertim. :))

      Hapus
  3. super! saya suka banget liak-liuk pilihan kata anda. Dan appreciate banget, menjumpai blog dokter yang piawai menulis. (jika berkenan mari sua blog saya di http://thedoctorundercover.wordpress.com/)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekali lagi, profesi saya bukan dokter. Tidak ada satu pernyataan pun di blog ini yang mengatakan saya adalah dokter. Saya adalah paramedis gawat darurat. :))

      Terima kasih link-nya. Saya suka blog Anda. :))

      Hapus