Selasa, 12 November 2013

Karena Buku adalah Tetirah


Seorang kawan bernama Irwan Bajang mengajak saya menuliskan 5 buku yang paling berpengaruh dalam hidup. “Proyek” ini diberi nama #5BukuDalamHidupku dan  berlangsung 5 hari. Satu hari, satu buku. Berikut adalah tulisan pertama untuk “proyek” ini.
 ==================================================================

“Ingat-ingatlah kalian, hai penulis-penulis belia. Bila kalian memilih jalan sunyi ini, maka yang kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus menulis, terus bekerja, dan bersiap hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tidak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya.”
--Muhidin M Dahlan, Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta

Malang, April 2004

Saya bolos kuliah. Memilih menyusuri trotoar di antara pohon-pohon palem yang berjejer di sepanjang Jalan Ijen. Langkah saya agak tergesa. Langit mendung. Saya sedikit terburu-buru.

15 menit kemudian, saya sampai di sebuah bangunan tua yang baru direnovasi. Di seberang jalan, berjajar sepasang tank tua di Museum Brawijaya yang moncongnya mengarah ke gedung yang saya tuju. Inilah gedung yang menemani jatuh cinta saya pada dunia baca-tulis yang gigil dan sedikit angkuh. Di gedung itu, saya menggairahi dunia literasi. Mengenal banyak buku. Membuat saya kian sering bolos kuliah.

Orang-orang kerap bilang, cinta datang tanpa alasan. Tapi cinta saya pada dunia baca tulis datang dengan alasan. Banyak sekali alasan. Satu dari sekian banyak alasan itu adalah buku yang membaptis saya menjadi kutu buku. Buku yang mengutuk saya menjadi seorang maniak buku yang rela memangkas sebagian besar uang kiriman kuliah (dan uang gaji kini) untuk membeli buku. Buku yang mengantarkan saya menjadi seorang pandir yang tengil–yang kerap sok intelek menenteng buku tebal ke mana-mana, sambil kadang-kadang menggapitnya dengan ketiak ketika berjalan. Buku itu adalah Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta.

Buku itu semacam memoar. Kisah tentang anak dari pesisir pantai di Sulawesi yang hidupnya berubah drastis karena buku. Buku juga yang  mengantarkannya merantau ke pulau Jawa. Buku pula yang mengantarkannya drop out dari tempatnya kuliah sebanyak dua kali (ya, dua kali). Buku juga  yang mengantarkannya dari menara gading dunia ide kepada culasnya kepentingan pasar.  

Membaca Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta, seperti menanamkan pada ladang ingatan sendiri tentang keteguhan sikap ternyata tak selamanya penuh kobar. Ia juga kadang hadir seperti angin dingin yang menusuk. Atau kadang ia hadir menjadi kekonyolan-kekonyolan yang sukar dinalar. Semua lalu seakan diaduk menjadi sebuah pembelajaran akan nilai hidup yang menyiratkan satu pesan penting: jangan menyesali jalan yang kamu pilih.

Saat saya menemukan buku itu pertama kali di selasar rak buku di perpustakaan kota  Malang, saya tergoda dengan covernya yang unik. Seorang pemuda menaiki sepeda kumbang dengan membawa setumpuk buku. Menarik sekali. Di buku itu diceritakan, si Aku sebagai tokoh utama cerita, mempunyai sekitar 1000 buku saat itu. Dan itu harus dia usungi setiap hari menggunakan sepeda kumbang tuanya ketika dia berpindah tempat tinggal.

 Judul Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta  juga menggoda minat saya. Dikisahkan, selain jatuh cinta pada dunia buku, si Aku juga menaruh hati pada seorang gadis. Berbekal luasnya pemahaman literasi yang dia punya, ia lalu mengutarakan isi hatinya kepada gadis pujaan dengan membuat buletin yang berisi tulisannya sendiri. Sayang, cintanya ditolak.

Karena judul dan cover-nya yang menarik, saya melirik buku ini. Sedikit mengecewakan, kemudian buku ini terbit ulang dengan cover yang berganti dua kali. Buat saya, sampul terbaik adalah tetap buku pertama yang digarap oleh penerbit terkenal kala itu (akhirnya penerbit ini bangkrut). Setelah terbit ulang, judulnya pun juga diganti menjadi Jalan Sunyi Seorang Penulis.  Kurang mengigit, menurut saya.

Kendati ada yang mengkritik buku ini biasa-biasa saja (bahkan jelek), buat saya, buku ini masuk dalam daftar buku yang paling berpengaruh dalam hidup saya. Saya pernah membaca, ada yang menilai buku ini semacam buku yang ditulis seperti (maaf) orang berak, sebab semua seperti “dikeluarkan” tanpa kepekaan. Sekali lagi, bicara buku adalah bicara urusan personal. Tak usah terlalu diperdebatkan terlalu panjang.

Yang jelas, buku ini seperti mengajari saya bahwa kata adalah keajaiban semesta. Selaras dengan apa yang ditulis secara puitis oleh Joko Pinurbo dalam puisinya yang berjudul “Malam Pembreidelan”, kata-kata adalah kupu-kupu yang berebut bunga, adalah bunga-bunga yang berebut warna, adalah warna-warna yang berebut cahaya, adalah cahaya yang berebut cakrawala, adalah cakrawala yang berebut saya.

2 komentar:

  1. anjir, deskripsinya menyentuh banget mas, hahaha.
    ayo kita gugat gus muh dan penerbit barunya untuk mengembalikan buku ini ke cover pertamanya. hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.. :D

      Ayo! Bikin hasthag di twitter, bikin grup di facebook, bikin petisi online!! :D

      Hapus